Oleh: Hasanul Rizqa
“Dialah raja Jawa yang tanpa mahkota!” Demikian orang Belanda menjuluki HOS Tjokroaminoto (1882-1925). “De ongekroonde koning van Java.” Bagi rakyat Indonesia awal abad ke-20 M, sosok tersebut bukan lagi dianggap manusia biasa, melainkan sang penyelamat alias “ratu adil.” Bagi para sejarawan, penggerak Sarekat Islam (SI) itu telah membuat gebrakan besar dalam sejarah negeri ini. Dialah yang mula-mula memunculkan gagasan nasionalisme modern Indonesia. Banyak muridnya yang di kemudian hari menjadi figur penting. Untuk menyebut dua contoh saja, yakni presiden pertama RI Ir Sukarno dan diplomat ulung, Haji Agus Salim.
Raden Mas Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto lahir di Bakur, Sawahan, Madiun, Jawa Timur, pada 16 Agustus 1882. Dia merupakan anak kedua dari 12 bersaudara. Ayahnya, Raden Mas Tjokromiseno, merupakan seorang wedana di Kleco, Madiun. Kakeknya dari garis bapak, Raden Mas Adipati Tjokronegoro, pernah memimpin kabupaten Ponorogo. Adapun buyutnya merupakan ulama besar, Kiai Bagoes Kesan Besari, yang mengasuh pondok pesantren di Tegal Sari, Ponorogo. Dengan demikian, di dalam tubuh RM Tjokroaminoto sudah mengalir perpaduan darah ningrat dan ulama.
Setelah melalui pendidikan dasar, Oemar Said—demikian panggilan kecilnya—bersekolah di OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren), yakni sekolah calon pegawai Pribumi di Magelang. Dapat diduga bahwa keluarganya telah memproyeksi masa depan putranya itu sebagai bagian dari birokrasi pemerintah. Saat berusia 20 tahun, dia pun lulus dari OSVIA. Ketika sedang berprofesi sebagai juru tulis di Glodog, Purwodadi, dia menikah dengan RA Soeharsikin, yakni putri keluarga priyayi RM Mangoensoemo, yang saat itu wakil bupati Ponorogo.
Namun, daya kritis yang dimilikinya sejak kecil membuatnya tidak bisa berlama-lama menjadi birokrat kolonial. Pada 1905, Tjokroaminoto mundur dari pekerjaannya. Keputusan ini sempat menuai protes dari mertuanya, tetapi yang bersangkutan bergeming. Dia lantas beranjak ke Madiun untuk mengunjungi sejumlah pondok pesantren. Setelah melalui pelbagai pertimbangan, maka diputuskanlah untuk hijrah ke Semarang, dengan memboyong istri tercinta. Mulailah suatu episode kehidupannya, di mana Tjokroaminoto dapat berinteraksi langsung secara bebas dengan rakyat.
Pada 1907, Tjokroaminoto pindah ke Surabaya untuk meneruskan pendidikan pada Sekolah Teknik Sipil BAS (Burgerlijke Avond School). Untuk membiayai kebutuhan sehari-hari, dia bekerja pada perusahaan niaga Kooy&Co. Tiga tahun kemudian, dia lulus dan sempat menerapkan keahliannya itu sebagai juru mesin dan juru kimia pada sebuah pabrik gula di Rogojampi, Surabaya, hingga tahun 1912. Di sela-sela kesibukannya, bapak lima orang anak ini mulai aktif di organisasi sosial dan bahkan menjadi ketua perkumpulan Panti Harsoyo. Selain itu, masih disempatkannya pula untuk menulis pelbagai karangan tentang isu-isu sosial kemasyarakatan
Memang, Tjokroaminoto sangat gemar menulis. Dia pun menekuni dunia jurnalistik. Artikel-artikelnya di Suara Surabaya berkaitan antara lain dengan eksploitasi perusahaan-perusahaan Belanda atas kaum Pribumi. Berkat tulisan-tulisannya, namanya menjadi cukup terkenal di kota pesisir tersebut. Dia menjadi apa yang diistilahan sang perintis pers Indonesia, Abdoel Rivai (1871-1937), sebagai “bangsawan pikiran.”
Bila “bangsawan usul” adalah mereka yang menjadi ningrat karena faktor asal-usul atau keturunan, maka bangsawan pikiran menjadi ningrat karena kerja keras dan daya intelektualnya. Untuk diketahui, masa transisi dari abad XIX ke XX memunculkan suatu fenomena yang di dalamnya gagasan modernisme berkembang pesat di kota-kota besar Tanah Air. Hal itu didukung antara lain perubahan kebijakan pemerintah kolonial dengan Politik Etis—sehingga berdirilah banyak sekolah formal dengan kurikulum Eropa—dan teknologi cetak.
Selama di Surabaya, Tjokroaminoto tinggal di Jalan Peneleh VII Nomor 29-31. Rumah itu terletak di kawasan perkampungan padat penduduk. Walaupun resminya dia bekerja sebagai pegawai pabrik, aktivitasnya di pelbagai organisasi dan diskusi-diskusi membuat namanya dikenal sebagai tokoh pergerakan nasional. Sejak 1912, misalnya, dia sudah dengan lantang menyerukan perlunya Hindia Belanda dilengkapi dengan pemerintahan otonom (zelfbestuur) yang lepas dari Negeri Belanda. Semangat nasionalisme yang disuarakannya membuat orang-orang terkesima dan akhirnya tertarik untuk mengikuti jejak langkahnya.
Salah satu figur yang pada masa remajanya berproses di sana adalah Sukarno. Ayah sang proklamator itu, Raden Sukemi, bersahabat baik dengan Tjokroaminoto. Sudah sejak awal Raden Sukemi ingin anaknya itu diinapkan di sana selama bersekolah di Surabaya. Dalam autobiografinya, Bung Karno mengenang rumah Tjokroaminoto tersebut sebagai Dapur Nasionalisme.
Katanya dalam buku autobiografi yang ditulis Cindy Adams, “Aku meresapi lebih banyak lagi persoalan politik di rumah Pak Tjokro, dapur dari Nasionalisme.” Sebutan itu cukup beralasan karena pada faktanya kediaman Tjokroaminoto sering ramai dengan para tokoh yang berdiskusi memikirkan nasib orang-orang Pribumi di bawah pemerintahan kolonial. Selain Sukarno, tokoh-tokoh lain yang berproses di rumah itu adalah Semaun, Alimin, Musodo (Muso), Kartosuwiryo, Abikusno Tjokrosoejoso, dan Sampurno. Mereka sering hadir di sana dan mengikuti jalannya diskusi di rumah Tjokroaminoto.
Bergabung dengan SDI
Di Buitenzorg (Bogor), Raden Mas Tirto Adisuryo (1875-1918) mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 27 Maret 1909. Misinya memperjuangkan kepentingan umat Islam di Hindia Belanda. Dengan jalan berorganisasi, perintis media massa Medan Prijaji itu berharap umat Islam yang unggul secara kuantitas dapat menghasilkan kekuatan manajerial yang rapi dan berkualitas.
Dua tahun kemudian, Tirto membuka cabang SDI di Solo. Dia bekerja sama dengan Haji Samanhudi, seorang juragan batik yang juga menaruh konsen pada nasib umat Islam. Lebih khusus lagi, H Samanhudi sedari awal mengkritik ketidakadilan yang dijalankan pemerintah kolonial atas kaum Pribumi-Muslim; kebijakan yang cenderung menguntungkan kelompok pebisnis Cina dan kulit putih. Perlakuan diskriminatif itulah yang coba diatasi SDI cabang Solo.
Dalam rentang waktu yang relatif singkat, nama SDI sudah terkenal di mana-mana. Banyak pengusaha Pribumi di seluruh Hindia Belanda yang berbondong-bondong mendaftarkan diri. Dengan AD/ART yang baru, SDI berubah menjadi Sarekat Islam (SI). Inilah organisasi massa terbesar pada masanya. Puluhan ribu orang menjadi simpatisan. Pengaruh SI sampai pula di Surabaya.
Kepemimpinan Samanhudi mulai digantikan oleh HOS Tjokroaminoto. Pada saat itu, profilnya sudah sedemikian terkenal dan kharismatik di tengah publik. Orang-orang Belanda sampai-sampai menjulukinya De Ongekroonde van Java, ‘Raja Jawa tanpa Mahkota.’ Sifatnya egaliter, sehingga menganggap Belanda tidak ubahnya dengan rakyat Jawa. Daya kritisnya yang tajam membuka relung kesadaran para tokoh Pribumi untuk bangkit dengan pendidikan dan berorganisasi.
Dia mengecam keras praktik-praktik yang cenderung menghinakan kaumnya. Sorot matanya tajam—bak Gatot Kaca dari kisah perwayangan. Tidak pernah sekalipun membungkuk-bungkuk di hadapan pejabat pemerintah kolonial. Baik melalui orasi dan gaya bahasa tubuhnya, Tjokroaminoto mencontohkan kepada sekalian orang Pribumi-Muslim tentang pentingnya menanggalkan inferioritas, rasa rendah diri, di hadapan penguasa yang zalim.
Selama memimpin SI, diarahkannya agar organisasi ini berhaluan nasionalisme yang merangkul seluruh suku bangsa di Tanah Air. Langkah ini tentu saja merupakan terobosan pada zamannya. Sebab, cukup banyak organisasi yang lahir pada awal abad ke-20 menonjolkan identitas kesukuan, bahkan terhadap suku-suku lain. Dalam Kongres Nasional Pertama Central Sarekat Islam pada 1916, diserukannya para anggota SI untuk mengedepankan prinsip persatuan di atas keberagaman.
Gagasan nasionalisme yang dimaksudkannya tidak untuk dibentur-benturkan dengan keislaman. Dalam sebuah artikel pada harian Fadjar Asia pada 1924—seperti dikutip Aji Dedi Mulawarman (2015: 35)— Tjokroaminoto menegaskan bahwa nasionalisme yang diyakininya bukanlah semacam Nasionalisme Turki yang menghendaki kemerdekaan dari ruh Islam dan menggantikannya dengan ruh berwajah Barat. Tjokroaminoto tidak ingin nasionalisme dikuasai oleh materialisme yang membatasi simbol-simbol dan praktik-praktik Islam di ranah publik.
Dengan memisahkan Islam dari negara (nation-state), menurutnya, maka hal itu justru telah menyalahi substansi nasionalisme. Nasionalisme bagi Tjokroaminoto tidak boleh menjadi penyebab kebencian suatu bangsa terhadap bangsa lainnya. Demikian pula, nasionalisme jangan menjadi rintangan menuju cita-cita tauhid.
Dalam praktiknya, Tjokroaminoto membesarkan SDI dengan berbagai langkah strategis. Seperti diuraikan Mulawarman dalam Jang Oetama: Jejak dan Perjuangan HOS Tjokroaminoto, dia menjalankan gerakan politik administrasi, yang meliputi penataan sistem rekrutmen, perluasan tujuan organisasi, dan ideologi. Hasilnya, jumlah keanggotaan SDI meningkat, yang awalnya per Juni 1912 sebanyak dua ribu orang menjadi 35 ribu orang pada Agustus tahun yang sama. Keanggotannya tidak dibatasi pada para saudagar, tetapi juga petani, nelayan, bahkan pangreh praja. Sebulan kemudian, nama SDI diubah menjadi SI, untuk lebih mencerminkan inklusivitas itu.
Kebijakan lainnya adalah gerakan show of force—sesuatu yang belum pernah diterapkan H Samanhudi. Pertemuan akbar diselenggarakan di lapangan terbuka dengan mengundang seluruh anggota SI. Pada 25 Januari 1913 di Surabaya, pertemuan besar itu sudah dimulai dan puncaknya terjadi keesokan harinya. Hadir dalam acara itu 13 perwakilan cabang SI, yakni dengan jumlah anggota mencapai 80 ribu orang. Sebagian besar dari Surakarta. Sisanya dari berbagai kota, seperti Sidoarjo, Jombang, Madiun, Jakarta, Semarang, Kudus, dan Bandung.
Adapun kongres kedua diadakan di Yogyakarta pada April 1914. Hadir sebanyak 142 delegasi dari 81 cabang yang mewakili 440 ribu orang anggota. Pada saat itu, Tjokroaminoto mulai diangkat secara resmi menjadi ketua umum SI—jabatan yang terus diembannya hingga 1934.
Sosialisme Islam ala Pak Tjokro
“Berlaku sosial, dalam arti mengeluarkan sebagian harta-benda untuk diberikan kepada orang lain, merupakan perintah agama yang keras dan tak boleh dilalaikan. Ia bukan sekadar kebajikan.” Demikian petikan tulisan HOS Tjokroaminto dalam bukunya, Islam dan Sosialisme.
Dalam buku setebal 104 halaman dan ditulis pada tahun 1924 itu, tokoh Sarekat Islam (SI) ini banyak mengutip ayat Alquran dan hadis serta contoh-contoh dari kisah hayat Nabi Muhammad SAW. Jelas sekali arah argumentasi dan pemikirannya, yakni bahwa Islam memerintahkan kepada umatnya untuk berperilaku dan bersikap sosial.
Di antara ayat-ayat Alquran yang ia kutip adalah surah Ali Imran ayat ke-92. Artinya, “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui.” Ia pun menukil berbagai hadis Rasulullah SAW.
Di samping itu, diceritakannya pula suri teladan beliau. Pak Tjokro memaparkan kisah berikut ini. Dahulu, Rasulullah SAW memiliki sebidang taman bernama Fidak. Sepeninggal beliau, putrinya—Fatimah—hendak menuntut kepada khalifah untuk mendapatkan taman itu atas dasar hak sebagai keturunan beliau. Namun, khalifah ternyata menolak tuntutannya itu dengan alasan Nabi Muhammad SAW tidak mempunyai kekayaan dengan hak kepribadian sendiri. Oleh karena itu, segala sesuatu yang beliau tinggalkan harus menjadi milik orang banyak, termasuk taman Fidak.
Bagi Tjokroaminoto, sosialisme menurut Islam sangat berbeda dan bahkan bertentangan dengan solialisme Barat—terutama yang mengejawantah pada Marxisme—dan kapitalisme. Kedua “isme” itu pada waktu buku tersebut ditulis amat mendominasi wacana pemikiran dunia. Pangkal perbedaannya, lanjut guru Bung Karno itu, adalah bahwa sosialisme Marx dan kapitalisme menjadikan benda sebagai segalanya, sedangkan manusia hanyalah sebagai objek.
Padahal, menurut Islam, manusia adalah khalifah, yakni sebagai subjek. Dengan pemahaman demikian, segala sistem, paham, ataupun aturan, harus bermuara pada manusia; yakni kebahagian mereka di dunia dan akhirat. Kebahagiaan di akhirat ini perlu dikemukakan karena dengan demikian, dalam pemupukan kekayaan harus dilakukan dengan cara yang halal—dalam arti, diridhai Tuhan.
Tjokroaminoto mengatakan, “Keelokan sosialisme Islam ialah bahwa ia tidak merusak semangat kerajinan dan kegiatan seseorang, dan tidak menjadi penghambat cita-cita seseorang untuk mencari kemajuan, tetapi (yang) dicegah dan dipantangkan (adalah bahwa) seseorang menindas dan merusak orang lain. Dicegah dan dipantangkan seseorang menjadi kaya dengan merugikan atau memakan hasil usaha orang lain.”
Dengan demikian, sosialisme Islam mempersilakan orang untuk kaya dan bahkan sekaya-kayanya. Namun, hal itu dengan catatan bahwa harta benda diperoleh dengan cara yang halal. Bahkan, menurut Tjokroaminoto, dengan semakin orang kaya, maka hak yang diberikan kepada orang lain juga semakin besar. Sebab, dalam setiap kekayaan ada hak buat orang lain. “Hak untuk orang lain” ini disebutnya sebagai sedekah.
Islam, jelas tokoh SI itu, merupakan agama yang pertama membuat undang-undang yang menetapkan ukuran besar kecilnya kedermawanan seseorang, yakni yang disebut sedekah. Ada dua macam sedekah. Pertama, bergantung pada kemauan si pemberi. Kedua, sedekah yang diwajibkan atau lebih disebut sebagai zakat.
Yang terakhir ini juga ada dua macam, zakat fitrah dan zakat harta (maal). Zakat fitrah dikeluarkan menjelang shalat Idul Fitri. Adapun zakat maal dikeluarkan ketika besaran harta yang dimiliki sudah mencapai titik yang ditentukan (nishab). Semua bentuk zakat itu diberikan kepada golongan-golongan yang sudah ditentukan oleh nash Alquran secara jelas.
Tjokroaminoto menulis, “Apabila segenap manusia menjalankan hukum Islam tentang zakat, ditambah lagi dengan lain-lain kedermawanan—seperti dikehendaki Islam, maka di dunia kita akan datanglah peri-keadaan sosialisme, peri-keadaan sama rata sama rasa.”
Selain sedekah dan zakat, menurut Tjokroaminoto, hampir semua aturan yang terkait dengan harta benda juga menunjukkan tentang sosialisme Islam. Ia menyebut tentang hukum waris, wakaf, utang-piutang, perdagangan, dan sebagainya. Untuk membangun masyarakat sosialis seperti dikehendaki Islam, harus ada tiga unsur pendukung: kemerdekaan (liberty), persamaan (equality) dan persaudaraan (fraternity). Tanpa ketiganya, suatu masyarakat yang bersosial akan sulit dicapai.